Bersama Menghapus Stigma

Catatan Kecil Menyambut Hari Kepedulian Epilepsi Sedunia

Pengantar

            Tanggal 26 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari kepedulian epilepsi sedunia. Sebuah hari dengan pesan untuk meningkatkan akses pengobatan terhadap pasien epilepsi, dan menghapus stigma terkait epilepsi. Banyak sekali stigma terkait dengan epilepsi yang menyebabkan hilangnya akses penderita terhadap kesempatan pendidikan dan pekerjaan, perbedaan perlakuan dalam masyarakat, dan buruknya interaksi sosial. Stigma (cap negatif) terhadap penderita epilepsi terbukti berperan besar dalam buruknya kualitas hidup.  

            Data WHO (2015) menunjukkan bahwa 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Epilepsi diderita 1 diantara 100 penduduk dunia. Banyak figur terkenal yang menderita epilepsi, diantaranya adalah: kaisar Napoleon, penulis Agatha Christie, penemu Alfred Nobel, pelukis Vincent van Gogh, dan pelari olimpiade fenomenal Florence Griffith-Joyner, atau Flo Jo.

            Epilepsi adalah penyakit yang ditandai oleh bangkitan (kejang/ non kejang) yang berulang tanpa provokasi (mis: tanpa demam) akibat gangguan aktivitas listrik di otak. Gangguan aktivitas listrik di otak dapat disebabkan oleh kelainan saluran ion atau akibat cedera otak (mis: trauma saat lahir, asfiksia/ kekurangan oksigen, pasca stroke, pasca infeksi otak, dsb). Diagnosis epilepsi ditegakkan oleh petugas kesehatan yang terlatih dan pemeriksaan penunjang (mis: EEG/ Elektroencephalografi). Epilepsi dapat dikendalikan pada sebagian besar kasus dengan pengobatan.

Stigma terkait epilepsi lebih banyak dijumpai di negara berkembang. Data WHO dan ILAE (International League Against  Epilepsy) (2014) menunjukkan bahwa stigma (cap) negatif epilepsi dijumpai di negara maju dan juga negara berkembang. Penelitian Baker (2010) di 15 negara di dunia menunjukkan bahwa pasien epilepsi seringkali menghadapi stigma sosial yang berat dalam hal pendidikan dan pekerjaan.

 

Stigma terkait epilepsi

            Stigma terkait epilepsi tidak dapat dipisahkan dari sejarah peradaban manusia. Pemahaman dunia medis yang terbatas di masa lampau terkait fungsi otak dan ilmu tentang otak dan kerja otak (neurosains) berkontribusi besar terhadap stigma yang turun menurun. Sebagian besar serangan epilepsi ditandai dengan kejang (yang pada beberapa kasus memberi kesan menakutkan), sehingga di masa lampau dianggap sebagai kerasukan atau kutukan. Epilepsi lobus temporalis (epilepsi psikomotor) bahkan ditandai dengan automatisme yang kompleks (mis: pasien berbicara sendiri tanpa disadari). Kondisi ini di masa lampau dikaitkan dengan “kerasukan”, “kutukan”, atau bahkan “guna-guna”.  Di negara-negara Mesopotomia dan India pada masa 400 tahun sebelum masehi mengenal epilepsi sebagai kutukan dewa, dan dipercayai bahwa penderita epilepsi tidak boleh menikah dan bekerja (bahkan sebagai budak/ pelayan).

            Stigma buruk terhadap epilepsi semakin menjadi di abad pertengahan setalah masehi. Epilepsi dikatakan sebagai kondisi akibat kerasukan, kondisi supranatural, dapat menular. Hal tersebut menjadikan penyandang epilepsi seringkali dikucilkan dan mendapat perlakuan buruk. Hal tersebut berdampak besar pada kualitas hdup yang buruk pada para penyandang epilepsi.

            Pemahaman akan epilepsi dan kausanya yang semakin baik tidak serta merta menurunkan stigma negatif epilepsi. Penelitian terkait epilepsi di abad 21 telah berhasil membuktikan bahwa epilepsi disebabkan oleh cetusan berlebih listtik di neuron (sel otak). Penemuan obat-obatan epilepsi telah berhasil meningkatkan remisi (bebas serangan) dan kesembuhan. Pasien epilepsi dapat menjalankan aktivitas belajar dan bekerja dengan sangat baik. Stigma negatif tetap melekat pada pasien epilepsi. Pasien epilepsi seringkali ditolak dalam kehiuapn sosial.

            Penelitian skala besar yang dilakukan oleh ILAE (2010) di 15 negara memperlihatkan bahwa lebih dri 51% pasien epilepsi masih merasakan stigma.  Stigma juga dijumpai di begara maju. Penelitian di Jerman memperlihatkan bahwa 15% orangtua yang diwawancarai menyatakan bahwa anakanya sebaiknya tidak bermain dengan penyandang epilepsi. Kondisi stigma negatif semakin dirasakan di negara berkembang. Di Taiwan 72% orang tua menyatakan anaknya tidak boleh bermain dengan penyandang epilepsi. Stigma negatif paling buruk dijumpai di benua Afrika. Penelitian di Liberia memperlihatkan bahwa anak-anak penyandang epilepsi tidak boleh bersekolah. Kajian di Nigeria menunjukkan bahwa 47% guru menyatakan bahwa epilepsi adalah bentuk penyakit gila dan 32% percaya bahwa epilepsi adalah penyakit menular.

            Pada usia yang lebih dewasa maka stigma negatif memunculkan masalah terkait pekerjaan dan perkawinan. Di beberapa negara pasien epilepsi dilarang menikah karena pemahaman yang salah (miskonsepsi) bahwa epielpsi adalah penyakit keturunan. Penelitian di Nepal memnunjukkan bahwa 24% penyandang epilepsi tidak boleh bekerja. Hal serupa ditunjukkan di Taiwan dengan angka 31%. Masalah diskriminasi dalam hal pekerjaan juga dijumpai di negara maju. Kajian Pinzon (2012) menunjukkan bahwa permasalahan terkait stigma di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Epilepsi dihubungkan dengan kualitas hidup yang buruk pada penyandangnya terkait dengan terbatasnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak.

            Faktanya adalah epilepsi bukan penyakit menular, epilepsi bukan penyakit keturunan, dan epilepsi dapat disembhkan. Sebagian besar pasien dapat mengalami remisi dengan pengobatan. Kajian Fernandez (2013) memperlihatkan bahwa edukasi yang baik kepada para stakeholders (mis: guru, pemberi kerja, dan masyarakat luas) dan pemangku kebijakan (politisi) akan mengurangi dampak perlakuan diskriminaif terhadap pasien epilepsi. Kebijakan anti diskrimatif terhadap penyandang sakit dan diabilitas (termasuk epilepsi) adalah amanat dokumen WHO yang dikeluarkan pada saat siding umum WHO (2006).

 

Epilepsi di era JKN

            Pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional di tahun 2014 merupakan anugerah tersendiri bagi para penyandang penyakit kronik termasuk epilepsi. Akses pengobatan yang lebih baik dan terjangkau dapat dinikmati oleh semua penduduk Indonesia. Pasien epilepsi yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak perlu khawatir karena sebagian besar obat lini pertama epielpsi ada di daftar obat untuk pasien BPJS. Kekhawatiran putus obat juga berkurang karena epilepsi adalah salah satu penyakit yang dapat dirujuk balik.

            Apakah pembelakuan JKN di Indonesia dengan serta merta menyelesaikan masalah stigma? Jawabannya adalah tidak. Permasalahan stigma tidak cukup diselesaikan dengan memperluas cakupan pengobatan. Bebeapa penelitian dan kajian yang dilakukan ILAE (2014) memperlihatkan bahwa masalah stigma dapat dikurangi dengan memperbaiki pemahaman masyarakat, para opinion leaders (termasuk para guru di sekolah), dan pasien epilepsi terkait penyakit epilepsi. Kajian di beberapa negara memperlihatkan bahwa pemahaman yang lebih baik diantara para stakeholders yang terlibat akan mengurangi stigma. Advokasi dan lobi oleh para penggiat kesetaraan hak pasien epilepsi bahkan berhasil memasukkan kegiatan anti diskrimasi bagi penyandang epilepsi dalam  produk perundang-undangan. 

 

Penutup

            Ada banyak penyakit di dunia yang diliputi dengan stigma negatif.  Salah satu diantara sedemikian banyak penyakit tersebut adalah epilepsi. Stigma negatif memunculkan masalah psikososial. Masalah psikososial yang dihadapi akan terkait akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak. Sikap diskrimatif dan antipati bukan hal yang jarang dijumpai. Tanggal 26 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari kepedulian epilepsi internasional. Sebuah hari dengan pesan bahwa “pasien epilepsi dapat hidup dan berkarya tanpa stigma negatif”. Epilepsi bukan peyakit menular, bukan penyakit keturunan, dan dapat disembuhkan.

 

Dr. dr. Rizaldy Pinzon, MKes, SpS

Fakultas Kedokteran UKDW/RS Bethesda Yogyakarta